Sabtu, 29 November 2008

http://www.savefile.com/files/1908544
http://www.savefile.com/files/1908529

Selasa, 09 September 2008

International Public Relations

Mata kuliah International Public Relations adalah mata kuliah wajib bagi mahasiswa konsentrasi PR di jurusan Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Yogyakarta. Matakuliah ini akan menelaah tumbuhnya aktivitas PR di dunia internasional. Dalam kuliah ini akan dijelaskan bagaimana praktisi PR dapat memahami budaya sebagai komponen inti International PR yang mempengaruhi hubungan organisasi dan target MAP (market, audience, public) yang berbeda budaya dan Negara. Di samping international corporate PR, juga akan dibahas international government PR, perkembangan international PR di luar negeri dan peluang kerja di dunia internasional Setelah mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami peran dan fungsi PR di dunia internasional dalam memperoleh target market, audience, public (MAP) yang berbeda budaya dan Negara.

Bacaan Wajib

  1. Heath, Robert and Timothy Commbs, 2006 Today Public Relations, London, Sage Publications
  2. Mitchell, Charles, 2001. Budaya Bisnis Internasional, penerjemah Erlinda M. Nusron, Jakarta, Victory Jaya Abadi
  3. Wilcox, Dennis et al. tanpa tahun, Public Relations Strategies and Tactics, New York, Harper-Collins Publishers.
  4. Moore, Frazier, 2000, Hubungan Masyarakat, penerjemah Lilawati Trimo, Bandung, Rosdakarya
  5. Varner, Iris and Linda Blamer, 1995, Intercultural Communication in The Global Workplace Chicago, Irwin.INC.
  6. Leat, Robert, 1991, International Public Relations, Handbook of Public Relations and Communication, edited Phillip Lesley, Chicago, Probus Publishing Company
  7. Samovar, Larry et al., 1981, Understanding Intercultural Communication, Belmont, Wadsworth Publishing Company.


Selasa, 02 September 2008

Makanan Dalam Kebudayaan

Makanan dalam Kebudayaan
Makanan dalam antropologi dapat dibicarakan dalam lingkup hasil kebudayaan fisik. Harris dan Moran (1982: 58) mengemukakan bahwa “cara memilih, menyiapkan dan memakan makanan sering berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya”. Makanan merupakan salah satu karakteristik budaya. Seperti dikatakan Berry (dalam Matsutomo, 2004: 19) bahwa makanan adalah salah satu bentuk yang disentuh oleh budaya. Makanan dapat dilihat dari bahan mentah dan cara pengelolaanya. Dalam berbagai kebudayaan di dunia menurut Koentjaraningrat (1998: 25) makanan dapat dilihat dari cara memasak dan cara penyajiannya. Bagaimana kelompok etnik membuat makanan sehingga terciptalah suatu ciri khas kelompok tersebut. Mungkin bahan mentahnya sama, tetapi dalam cara memasak dan penyajiannya berbeda dan mungkin namanya pun berbeda. Mengubah cara makan seseorang dari kelompok budaya satu ke kelompok budaya lain tidaklah mudah, meskipun bahan mentah sama tapi kalau cara pengolahannya berbeda akan berbeda pula rasanya, dan belum tentu seseorang dari budaya lain bersedia makan.
Makanan, dalam kebudayaan terdiri atas makanan utama dan makanan tambahan. Makanan utama atau makanan pokok misal beras, jagung atau sagu. Beras menjadi makanan utama sebagian besar kelompok etnik di Indonesia, ada juga sagu seperti di Papua, Minahasa atau Manado. Makanan tambahan seperti ikan, banyak digunakan oleh kelompok etnik di luar Jawa. Perbedaan akan tampak dalam cara pengelolaannya. Apabila dalam masyarakat Sunda sering dijumpai ikan diolah dengan digoreng kering, di luar Jawa ikan diolah dengan menggunakan santan kental, misal dimasak rendang atau kari. Kelompok yang hampir serupa dalam pengelolaan ikan ini adalah etnik Minangkabau atau Padang, di mana masakan mereka telah menyebar ke seluruh pelosok Indonesia. Di samping itu ada juga etnik lain dengan cara memasak ikan yang serupa, seperti etnik Batak, Nias, Manado, Banjar juga Aceh, yang seringkali diikuti dengan rasa pedas.

Kesadaran Untuk Memahami

Perkawinan antaretnik, menuntut pasangan untuk saling menyadari adanya perbedaan budaya. Perbedaan budaya ditemukan perbedaan cara pandang, nilai atau kebiasaan hidup. Apabila Tseng mengatakan bahwa masalah yang dihadapi pasangan antaretnik karena para pelakunya tidak dipersiapkan untuk menerima perbedaan budaya. Hal itu, juga diakui oleh pasangan antaretnik Sunda dan bukan Sunda pada saat menikah mereka mengaku tidak mengenal budaya pasangannya. Adanya perbedaan budaya diketahui setelah mereka menjalani kehidupan perkawinan.
Hidup dengan seseorang yang berbeda latar belakang budayanya memerlukan komitmen sepanjang hidup, hal itu senada dengan pernyataan Gudykunst dan Kim (1992: 209) bahwa : .
The decision to date or become friends with a stranger is not the same as the decision to marry such a person. A marriage with a stranger requires a lifelong commitment to live with a person who is culturally different. While any marriage calls for adjustments, marriages to strangers generally demand more adjustments on the part of both partners than do marriages to people who are familiar. One of adjustments necessary is adjusting to the ingroup's reaction to intercultural couples.

Persoalan beda latar belakang budaya bukan hal yang mudah diatasi. Budaya telah menjadi bagian hidup manusia sejak awal kehidupannya. Perbedaan itu seperti sikap terhadap keluarga luas, sikap pribadi, selera makan, merupakan permasalahan yang tak mudah diatasi jika tidak ada komitmen dan kesadaran untuk saling memahami dan menerima perbedaan. Perkawinan bukan hanya persatuan dua manusia dewasa tapi juga persatuan dua keluarga luas bahkan dua kelompok etnik yang berbeda.
Pasangan antaretnik Sunda dan bukan Sunda dalam penelitian ini mengakui tidak saling mengenal budaya pasangan pada saat menikah. Namun demikian karena saling mencintai, ada komitmen untuk membangun rumah tangga, beda budaya itu bisa diatasi.
Tidak ada orang yang berpengalaman membina rumah tangga saat pertamakali dia menikah, karena masalah rumah tangga juga tidak ada diklatnya, semua itu tergantung komitmen pasangan untuk menjaga kelangsungan kehidupan rumah tangga, demikian tegas Mayong[1]

Komitmen mempertahankan kehidupan perkawinan membutuhkan kesadaran menerima perbedaan dan saling memahami budaya dengan menyamakan skema interpretasi antara suami-istri dalam menjalani kehidupan perkawinan yang berbeda latar budayanya. Menurut Berry (1999: 87), hal itu terjadi karena ada konteks budaya yang menuntut anggota yang memiliki peran dalam budayanya.
Dalam setiap sistem sosial, individu menempati posisi yang memungkinkan perilaku tertentu diharapkan; perilaku-perilaku ini disebut peran. Setiap pemegang peran merupakan objek sanksi-sanksi yang mengandung pengaruh sosial, bahkan tekanan, untuk berperilaku berdasarkan norma atau bakuan sosial.

Menurut Ismed Yusuf (dalam Nazwan, 2005: 9), urusan keluarga merupakan sumber stres terbesar (70 %) dibanding faktor lain seperti pekerjaan (20 %) dan lingkungan sosial (10 %). Kesadaran dalam dunia sosial menurut Schutz (dalam Littlejohn, 1996: 179), akibat realitas sosial itu bukan dunia pribadi tetapi dunia bersama.
Dunia kehidupan saya sehari-hari sama sekali bukanlah dunia saya pribadi tetapi adalah sebuah dunia yang intersubjektif sejak awalnya, dibagi dengan sesama saya, dialami dan diinterpretasikan oleh orang lain, singkatnya, ini merupakan sebuah dunia bagi kita semua. Situasi biografis yang unik di mana saya menemukan diri saya di dalam dunia itu di setiap saat dari eksistensi saya hanyalah sebatas kecil dari yang saya buat sendiri.

Pemikiran Schutz menunjukkan bahwa dunia yang kita huni ternyata juga dibagi, dialami dan diinterpretasikan oleh orang lain. Dunia yang kita huni merupakan dunia kita semua. Untuk menuju kesadaran dalam dunia sosial, seseorang menghadapi persoalan yang tidak mudah diatasi. Perbedaan lingkungan budaya menjadikan seseorang mampu menangkap makna yang sama dengan budaya yang berbeda dengan budaya sendiri, keadaan ini bukan suatu hal mudah untuk dilakukan harus ada kesadaran diri. Menurut Schutz (dalam Campbell, 1994: 244-245), orang asing harus memahami lingkungan baru yang tidak dikenal sebelumnya.
Betapun giatnya Orang asing itu mencoba memahami cara-cara yang dipakai kelompoknya, dia tak pernah bisa menerima cara-cara ini tanpa mempersoalkannya dan tak bisa mencocokkan diri kedalamnya secara spontan.

Penyesuaian dan pemahaman terhadap perbedaan memerlukan proses, karena manusia tidak menerima perbedaan itu secara spontan. Individu dalam perkawinan antaretnik merupakan aktor sosial, ia harus sadar bahwa keluarga yang dibangunnya itu memiliki dua latar belakang budaya yang berbeda. Dalam rangka membentuk skema kesamaan atau interpretasi, sehingga perbedaan yang dihadapi dapat saling dipahami dan dicarikan penyelesaiannya. Kesamaan interpertasi itu akan dapat terwujud dalam perkawinan karena hubungan suami-istri begitu intens dan eksklusif di antara mereka, seperti ditegaskan oleh Berger dan Kellner (1970, dalam Johnson, 1986: 476) :
When marriage involves intense and relatively exclusive relationships between wives and husband, spouses tend to adopt similar beliefs, values, and attitudes, even when they initially disagree. They may enter their marriage disagreeing about everything from politics to the likability of friends; but the longer they live together, the more similar their beliefs, values, and attitudes become.

Hal ini terjadi karena ada dua alasan ; (1) semua dapat bergantung pada orang lain untuk mengkonfirmasikan persepsi dari realitas dan dukungan nilai-nilai dan perilaku, dan kita cenderung bergantung pada sebagian besar orang dengan siapa kita berinteraksi paling banyak; (2) stabilitas hubungan pernikahan yang intens dan eksklusif bergantung pada persepsi ikatan kuat antara suami dan istri. Ketidakcocokan yang konstan menghasilkan ketegangan hubungan dan hal ini mendorong suatu kreasi pasangan-pasangan agar dapat hidup bersama pada tempat yang aman. Kesamaan paham ini dibutuhkan, agar perbedaan latar belakang budaya dalam perkawinan tidak menjadi sumber ketegangan tetapi terjadi penyesuaian timbal balik. Sikap untuk saling memahami paling tidak dapat mengurangi salah paham di antara suami-istri.
Dalam perkawinan antaretnik, ada dua kondisi yang selalu dihadapi oleh pasangan beda etnik. Perbedaan latar belakang budaya dalam perkawinannya antaretnik, tidak selamanya bisa diakomodasikan atau dterima sebagai patokan kehidupan perkawinanya. Ada kondisi yang dapat memunculkan ketegangan antara suami-istri ataupun pasangan dengan keluarga luas. Proses pemahaman atas perbedaan latar belakang budaya memerlukan kesadaran untuk saling memahami. Budaya yang telah diterima oleh seseorang sejak awal kehidupan, tidak akan mudah digeser atau diubah, meski mereka telah hidup bersama dalam ikatan perkawinan. Risiko individu yang menikahi seseorang beda etnik, adalah bersedia menerima perbedaan.
Kesadaran untuk memahami perbedaan dalam perkawinan menghadapkan individu pada kondisi-kondisi tertentu yang dapat memunculkan ketegangan. Berdasarkan penelitian ini, kesadaran untuk memahami perbedaan yang diawali oleh ketegangan, bersumber dari tiga kategori. Kategori pertama bersumber dari keluarga luas salah satu pasangan. Kedua, karena perbedaan antarindividu. Dan ketiga, karena terpeliharanya penilaian terhadap bentuk perkawinan antaretnik yang ditabukan oleh orang-orang sekitar.
Kesadaran pasangan beda etnik untuk memahami keluarga luas. Kesadaran pasangan beda etnik, diawali dengan adanya keluhan salah satu pasangan karena adanya sikap yang tidak sejalan apabila tetap dilakukan dalam kehidupan perkawinannya. Seperti yang dialami oleh pasangan ((5), istri mengeluhkan sikap suaminya.
Suami saya itu sering sekali memberikan bantuan kepada orang tua atau saudara-saudara di kampung, padahal kami kan perlu juga uang itu. Mereka itu apabila diberi uang dalam jumlah banyak akan bersikap ramah tetapi apabila suami saya memberikan dalam jumlah sedikit akan berubah sikap menjadi tidak ramah. Dan yang lebih menyakitkan seringkali ibu mertua membanding-bandingkan dengan kakak suami yang selalu memberikan jumlah uang yang banyak. Saya melihat bahwa suami saya selalu memberikan uang dan pakaian atau makanan setiap kali pulang ke kampung, padahal suadaranya banyak dan semua harus diberi.

Istri belum bisa menerima sikap suami yang memberikan bantuan materi kepada keluarganya. Istri ingin agar suaminya untuk tidak selalu memberikan materi pada keluarga, karena keluarga mereka sendiri juga masih perlu diperhatikan. Bagaimana dengan tanggapan suami atas keluhan istri.
Secara jujur saja saya tidak bisa mengabaikan mereka karena hubungan saya dengan saudara sepupu anak-anak paman itu sangat dekat, dan lagi mereka memang mengharapkan pemberiaan dari saya.

Di sini, suami tidak bisa mengabaikan keluarga luasnya. Diakui oleh suami, hubungan keluarga dengan dirinya adalah hubungan yang sangat erat. Dalam masalah ini, istri belum memahami bagaimana orang-orang Sunda memandang orangtua dan keluarga luas. Seperti pernyataan Ajip Rosidi (1984: 155- 156) tentang pandangan orang Sunda terhadap orangtuanya :
Orangtua memang mendapat tempat yang tinggi sekali dalam pedoman hidup orang Sunda. “Ari munjung ulah-ka gunung muja ulah ka nu bala; ari munjung kudu ka indung, muja mah kudu ka bapa” (= yang harus disembah itu bukanlah gunung atau tempat-tempat angker, melainkan ibu dan ayah sendiri) … kepatuhan anak kepada orangtua harus tinggi, karena orangtua dapat pula membuat nasib anaknya celaka. Perkataan “Sapa herang” atau “Sapata” (= kutuk), yang dapat diucapkan orangtua dapat mengubah atau menentukan nasib anaknya itu. Anak yang pernah disapa atau disupata oleh orangtuanya, akan menjadi anak yang “doraka” ( = berdosa). Salah satu kutukan yang sangat besar yang diucapkan orangtua kepada anaknya ialah “ka luhur moal sirungan, ka handap moal akaran” (ke atas takkan mempunyai pucuk, ke bawah takkan mempunyai akar), yang akan menyebabkan si anak hidup tak berarti di dunia ini, karena terputus dari semua pintu rejeki dan kebahagiaan.

Dengan pandangan Sunda seperti di atas, dapat dipahami mengapa suami begitu menghormati dan berusaha memenuhi kebutuhan keluarga luas dengan selalu memberikan perhatian. Mendengar tanggapan suami yang sulit mengabaikan keluarganya, istri berusaha lagi untuk lebih memahami keluarga luas suami, menurut istri karena ada pengalaman masa lalu.
Orang tua suami itu telah bercerai kemudian mereka tinggal satu kampung. Suami sebagai anak satu-satunya diasuh oleh nenek bersama dengan sepupu yang kebetulan orangtuanya bercerai juga. Suami tidak memiliki saudara satu ayah-ibu, sementara ibu kandung suami sebelum menikah dengan ayah suami telah menikah dan memiliki anak perempuan. Saat ini ibu kandung suami juga telah bercerai lagi tetapi tidak menikah lagi. Saya dapat mengerti mengapa suami begitu erat hubungannya dengan sepupu karena mereka itu merasakan nasib yang sama. Saya pada awalnya tidak tahu mengapa orangtua suami banyak karena selama ini suami tidak pernah cerita, saya berusaha memahami perasaan suami yang tidak mau terbuka dengan keadaan orangtuanya .

Di sini, istri mulai memahami ikatan kekeluargaan suami dengan kerabat sepupu, karena ada nasib yang sama. Istri berusaha membentuk kesamaan skema interpretasi dengan memahami sikap suami terhadap keluarga luas. Perkawinan bukan hanya memikirkan calon istri atau suami dalam lembaga perkawinan tapi ada kerabat lain yang perlu dipikirkan. Keluarga luas dilibatkan dalam perkawinan karena ini merupakan karakteristik budaya kolektif. Seperti ditegaskan oleh Triandis (1988 dalam Dayakisni dan Yuniardi, 2004: 207-208) :
... orang-orang dalam budaya kolektif memiliki komitmen yang lebih besar terhadap group/kelompok di mana mereka merasa memilikinya. Mereka juga mengindentifikasi diri dengan kelompoknya, sehingga kelompok itu menajdi bagian yang menyatu dengan konsep diri dan identitas dirinya. ... hal ini menjadikan budaya kolektif menuntut tingkat harmoni, kekompakan dan kerjasama yang lebih besar dalam kelompok mereka serta menempatkan beban yang lebih besar pada individu-individu untuk mengindentifikasikan dengan kelompok dan menyesuaikan dengan norma-norma kelompok. Sanksi biasanya ada bagi individu-individu yang tak mau menyesuaikan dengan standar kelompok … fokus perhatian yang paling utama adalah pada hubungan ingroup.
[1] Kompas, 9 Juni 2002